12 Oktober 2014

Bohong Demi Kebaikan, Apa Baik?

Seorang mahasiswa sedang duduk sambil memutar-mutar HP di tangannya, dengan sabar dia menunggu SMS yang masuk dari seorang perempuan yang dia suka. Suasana di luar masih gerimis, membasahi setiap jengkal tanah di Universitas tersebut.
            Tak selang berapa lama, HP-nya berbunyi. Ada SMS yang ditunggu datang: “Ka, aku ada dikosan. kesini aja.” Senyumnya mulai mengembang. Dia mulai berfikir memaksakan dirinya menembus air gerimis yang turun untuk mendatangi perempuan itu.
            Dia bergegas menuju sepeda motornya yang basah, tiba-tiba gerimis berhenti. Ini semacam restu Tuhan untuknya. Dia mulai menyalakan motornya, lalu pergi menemui perempuan itu.
            Sepeda motor yang dia kendarai terus memecah air di sepanjang perjalanan hingga sampai di depan kosan sang perempuan. Ada beberapa orang penghuni kos yang sedang mengepel membersihkan kotoran akibat hujan. Mahasiswa ini berjalan jinjit untuk menghindari jalan yang becek. Kosan ini ada 2 tingkat, kosan perempuan yang dia tuju ada di lantai atas. Untuk menuju kesana, dia harus membuka sepatunya yang penuh dengan tanah basah.
            Samapi di lantai atas, mahasiswa tersebut disambut senyum manis oleh perempuan yang berada di pintu kosannya. Itu perempuan yang dia tuju.
            “Maaf, ya, ngerepotin,” kata perempuan itu.
            Si mahasiswa pun menjawab, “enggak, apa-apa. sekalian main ke sini.”
            “Yuk, masuk. aku udah buatin teh, nih.”
            Mahasiswa itu pun masuk dan menikmati secangkir teh dan beberapa makanan ringan. “Mau beli obatnya di mana?” tanya si mahasiswa.”
            Yap, si perempuan minta di anter beli obat, makanya si mahasiswa ini bela-belain datang. selain karena ingin membantu, dia juga memiliki perasaan yang aneh baginya: suka.
            “Ke mini market aja.” jawab si perempuan.
            Di tengah obrolan, HP si mahasiswa berbunyi, ada SMS masuk. Dia membuka HPnya dan kaget, ternyata yang SMS itu pacarnya: “Sayang, kamu ada di mana?”
            Mahasiswa itu bingung, harus jawab jujur atau bohong. setelah dipikir lagi, bohong nampaknya lebih baik, karena dia gak mau terjadi salah paham antara dirinya dengan sang pacar.
            “Aku masih di kampus, Yang, ada apa?” Balas SMSnya.
            “Enggak, kirain udah pulang.”
            “Nanti sore aku pulangnya. Aku kuliah dulu, ya.”
            “Iya, sayang. Semangat.” tutup SMS dari pacarnya.
            Perasaan campur aduk di dalam diri mahasiswa itu. Dia merasa bersalah karena telah berbohong sama pacarnya, tapi dia juga telah menghindarkan mereka dari kesalah pahaman. Benar sih dia suka sama perempuan itu, tapi cuma sebatas suka. Dia juga gak ada niat buat ngeduain pacarnya.
            Mereka kemudian berangkat membeli obat ke Mini Market. Di sepanjang perjalanan tersimpan rasa bersalah di benak mahasiswa itu, apa yang telah dia lakukan terhadap pacarnya adalah hal yang benar atau malah sebaliknya. Kemudian dia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak mengulanginya lagi.
            Ada beberapa pertanyaan yang muncul dan belum terjawab oleh mahasiswa itu:
1.      Saat menerima SMS dari pacarnya, apakah dia lebih baik jujur atau harus bohong demi kebaikan?
2.      Kalau dia jujur, apakah pacarnya akan berfikir positif atau malah sebaliknya yang memicu retaknya hubungan dia sama pacarnya?
Semoga ada yang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu…


My Twitter: @CharlyFbh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar